Oleh: Afrizal Refo, MA (Sekjen Dewan Da'wah Kota Langsa)
Tidak terasa kita sudah memasuki bulan Syaban, bulan yang menandai bahwa kita semakin mendekati bulan suci Ramadhan.
Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam hitungan kalender hijriah. Terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan.
Secara bahasa Sya’ban berakar dari kata Arab “syi‘âb” yang bararti jalan di atas bukit. Makna “jalan” ini bisa dikiaskan dalam pengertian bahwa kita sedang menapaki jalan menuju Ramadhan, bulan yang paling dimuliakan dalam ajaran Islam.
Posisi bulan Sya’ban yang terjepit di antara Rajab dan Ramadhan itu rupanya membuat Sya’ban kalah populer dari keduanya. Kita tahu, Rajab diyakini sebagai bulan yang di dalamnya terdapat peristiwa dahsyat: Isra’ dan Mi’raj.
Peristiwa yang dialami secara langsung oleh Rasulullah ini begitu membekas di benak umat Islam, bukan saja karena keajaibannya namun juga hasil dari peristiwa itu yang masih berlangsung hingga sekarang, yakni kewajiban shalat waktu.
Rajab adalah salah satu dari empat bulan mulia di luar Ramadlan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Disebut “bulan-bulan haram” (الأشهر الحرم) karena pada bulan-bulan tersebut umat Islam dilarang mengadakan peperangan.
Tentang bulan Ramadhan, tak perlu ditanya lagi. Bulan ini mendapat tempat khusus dalam ajaran Islam. Pada bulan ini seluruh ganjaran amal kebaikan dilipatgandakan.
Di dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa kasih sayang Allah ditumpahkan dalam sepuluh pertama bulan ini, pintu pengampunan dibuka lebar pada sepuluh kedua, dan pembebasan dari neraka diterapkan pada sepuluh ketiga. Umat Islam diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Singkat kata, Ramadhan menjadi bulan spesial hubungan antara hamba dengan Allah.
Terkait tak begitu populernya bulan Sya’ban, Rasulullah saw pernah bersabda:
عن أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
”Usamah bin Zaid berkata, ‘Wahai Rasulullah aku tidak pernah melihat engkau berpuasa sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban. Nabi membalas, “Bulan Sya’ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Nasa’i).
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan, hari- hari utama (al-ayyâm al-fâdlilah) ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan, dan tiap minggu.
Dalam siklus bulanan, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa bulan Sya’ban merpakan bagian dari al-asyhur al-fâdlilah (bulan-bulan utama), sebagaimana bulan Rajab, Dzulhijjah, dan Muharram.
Bobot nilai puasa pada bulan-bulan utama lebih unggul dibanding pada bulan-bulan biasa. Berpuasa juga menjadi amalan yang jelas-jelas dicontohkan oleh Rasulullah sendiri.
Mengapa puasa? Puasa di bulan Sya’ban menandai tentang kesiapan kita dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Semakin intensif seseorang melaksanakan ibadah di bulan ini, semakin matang pula kesiapannya untuk memasuki bulan Ramadhan.
Di sinilah relevansi makna “jalan di atas bukit” bulan Sya’ban. Bulan Sya’ban menjadi jalan mendaki untuk meraih puncak kemuliaan yang tersedia di bulan Ramadhan. Rasulullah sendiri bersabda bahwa beliau ingin ketika amal kebaikan diangkat, beliau sedang dalam kondisi berpuasa.
Dengan demikian, kata kunci penting dalam hal ini adalah “kesiapan”. Kata ini pula yang sering diabaikan tatkala kita memasuki bulan Sya’ban. Kesiapan yang dimaksud adalah kesiapan rohani untuk menerima suasana paling sakral dari bulan paling suci, yakni Ramadhan. Sehingga, kesiapan lebih berorientasi spiritual, ketimbang material.
Mungkin kita lihat perubahan suasana di sekeliling kita saat bulan Sya’ban tiba. Pusat-pusat perbelanjaan kian ramai, minyak goreng naik, jumlah belanja bahan pokok meningkat, dan lain sebagainya. Semua ini mungkin bisa disebut persiapan, tapi dalam pemaknaan yang sangat material, bukan spiritual.
Dengan demikian, kita menyaksikan bahwa bukan hanya bulan Sya’ban yang dilupakan, bahkan makna bulan Sya’ban itu sendiri juga tak jarang diabaikan begitu saja. Kondisi duniawi kerap menyibukkan kita dengan hal-hal yang tak terlalu substansial.
Tradisi atau “ritus” budaya tahunan sering menjauhkan kita pada kedalaman rohani yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari kita.
Lantas, apa saja amalan dan keistimewaan atau keutamaan bulan Syaban?
1. Sya'ban adalah bulan persiapan untuk melakukan amal ibadah dan bersegeralah bertaubat dengan perbanyak istighfar dan menjauhi perbuatan maksiat.
2. Perbanyak Puasa di Bulan Syaban. Sya'ban adalah bulan dimana Nabi Muhammad SAW memperbanyak puasa, seperti dalam riwayat yang disebutkan di atas, ketika Sahabat Nabi yang bernama Sayyidina Usamah bin Zaid RA. bertanya kepada Rasulullah SAW: “Aku tidak pernah melihat engkau ya Rasulullah memperbanyak puasa seperti di saat engkau berpuasa di bulan ini”.
Kemudian Nabi Muhammad SAW menjawab: “Bulan ini adalah bulan dimana diangkatnya amalan seluruh hamba, dan Aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan aku berpuasa”.
Nabi Muhammad SAW yang memperbanyak puasa di bulan Syaban juga tercantum dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Ummul Mukminin Sayyidatina Aisyah RA. Beliau mengatakan: “Nabi Muhammad SAW tidak pernah berpuasa sunnah sebanyak saat puasa di bulan Syaban, bahkan Nabi Muhammad SAW sampai pernah berpuasa sebulan penuh pada bulan Syaban itu sambil mengatakan: “Perbanyaklah amal shaleh kalian khususnya pada bulan ini semampu kalian, karena Allah SWT tidak akan pernah bosan untuk menerima dan membalas amal kalian sampai kalian yang bosan”.
3. Perbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bahwa Rajab disebut sebagai bulan istighfar, sedangkan Syaban disebut bulan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat yang memerintahkan agar setiap orang yang beriman memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, diturunkan pada bulan ini, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56: “Sesungguhnya Allah beserta Para Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, maka hai kalian orang-orang yang beriman bershalawatlah kepadanya dan ucapkanlah Salam untuknya”.
4. Perbanyak berdo'a dan beristigfar karena di dalamnya terdapat malam Nisfu Syaban. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Sahabat Nabi yang bernama Sayyidina Abu Musa Al’Asy’ari RA, bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT akan memandang hamba-hambanya pada malam Nisfu Syaban (yaitu malam ke-15 di bulan Syaban), maka Allah ampunkan semua dosa setiap makhluk-Nya kecuali orang yang sedang dalam keadaan Musyrik dan Musyahin (yaitu yang senang menyulutkan api permusuhan)”.
Seperti yang disampaikan di atas, kita sebagai umat Rasulullah SAW, diperintahkan mengikuti kebiasaan Rasulullah untuk memperbanyak amal Shaleh di antaranya berpuasa. Puasa itu sendiri, sambung dia, banyak manfaatnya, di antaranya membuat tubuh sehat, seperti sabda Nabi Muhammad SAW: “Berpuasalah, dengan engkau berpuasa badan engkau akan sehat”.
Dan, dengan puasa menjadikan kita lebih sayang dan perhatian kepada saudara-saudara kita yang sering merasa kelaparan, maka kita tidak pelit untuk berbagi makanan dengan mereka dan kita semakin bersyukur kepada Allah, atas kenikmatan yang saking banyaknya kita takkan sanggup menghitung satu persatu semua Nikmat itu, yang datang semuanya itu dari Allah SWT.
Lantas, seperti apa tata cara puasa sunnah Syaban dan berapa lama puasanya? bahwa tata cara puasa Syaban tidak berbeda dengan puasa lainnya, yaitu niat dan menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, dari mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Untuk berapa hari puasanya, boleh sebulan penuh atau sebagiannya, seperti puasa yang dibarengi dengan puasa sunnah Senin Kamis atau Ayyamul Bidh (13, 14 dan 15 di tiap bulan Hijriyah), atau minimalnya diniatkan puasa sunnah di hari pertamanya. Keutamaan berpuasa di bulan Syaban sangat banyak, dan yang paling istimewanya yaitu kita niatkan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Ini dikarenakan, seseorang yang mengikuti kebiasaan orang lain, itu tandanya bahwa orang itu mencintainya, dan nanti di akhirat setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.
Semoga kita semua dianugerahi umur panjang yang barakah; diberi kesempatan berjumpa dengan bulan Ramadhan. Harapannya, kita semua dapat meningkatkan kualitas kehambaan kita dan merengkuh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.